3D2N in Solo by: Cita Inggil M

3D2N in Solo

by: Cita Inggil M

Kota Solo selalu menjadi jawaban ketika ada orang yang bertanya dimana tempat tinggalku. Padahal, aku tinggal di perbatasan antara Karanganyar dan Solo. Ya, aku tinggal di Palur, desa kecil dekat kali Bengawan. Bukan aku tidak bangga dengan kotaku sendiri. Tetapi, orang akan lebih mudah mengingatku jika aku menyebut kota Solo, terlebih jika yang bertanya adalah orang dari luar kota.

Bukan tanpa alasan, kota kecil ini dikenal masyarakat luas karena segudang karakteristiknya, mulai dari aneka ragam wisata budaya, makanan tradisional yang khas, dan wisata seajarahnya.

Karena kotaku berdekatan dengan Solo, aku sering kali menghabiskan waktuku untuk melakukan perjalanan layaknya seorang wisatawan yang datang dari kota yang jauh. Aku menyebutnya me time. Ya, bagiku me time tidak perlu ke tempat yang jauh dan mahal. Semua itu bisa dilakukan dengan budget yang minim, misalnya pergi ke kota tetangga, yakni Solo.

Kali ini aku akan bercerita tentang kunjunganku ke kota Solo yang paling berkesan. Pengalaman manis itu aku dapatkan saat aku berkunjung ke Solo pada 17 September 2020 lalu. Mengapa berkesan? Karena aku melakukan perjalanan itu bersama temanku yang datang dari Jogja. Dia adalah Karina, teman satu angkatan saat kami menjadi siswa magang di Candi Prambanan pada 2015 silam.

Saat itu hari Kamis pagi, Karina membertahuku bahwa dia baru saja tiba di stasiun Balapan. Aku mengatakan padanya agar dia segera naik bus Batik Solo Trans koridor dua untuk pergi ke Taman Satwa Taru Jurug, karena kami janjian untuk bertemu di sana. Setelah dia mengiyakan, aku bersiap untuk segera menuju ke terminal Palur.

Hanya butuh lima menit untuk aku tiba di terminal keberangkatan bus Batik Solo Trans itu. Setibanya di terminal, aku segera memasuki bus koridor 1 dengan tujuan Taman Satwa Taru Jurug. Jujur saja, meskipun dekat dengan rumah, aku jarang sekali berkunjung ke taman satwa ini. Tetapi, tamuku yang datang dari Jogja itu ingin sekali mengunjungi Taman Satwa Taru Jurug, maka dari itu TSTJ menjadi destinasi pertama kami.

Pukul 8.50 aku tiba di halte TSTJ dan kulihat Karina belum juga tiba. Sepuluh menit menunggu, akhirnya Karina datang, lalu kami berjalan memasuki TSTJ. Sebelum membeli tiket masuk, petugas menyemprotkan hand sanitizer dan memeriksa suhu badan kami terlebih dahulu. Hal itu rupanya sudah diterapkan sejak awal pandemic Covid-19 untuk tetap menjaga protocol kesehatan sesuai dengan anjuran pemerintah. Setela lolos pemeriksaan suhu badan, kami pun mendapatkan tiket masuk dan bisa memasuki kawasan konservasi.

Suasana di taman satwa ini sangat asri dan nyaman. Rasanya sangat cocok memilih tempat ini untuk sekedar  me time dan healing. Selain harga tiketnya yang hanya Rp. 20.000, di sana juga ada beberapa warung yang menjajakan makanan dengan harga yang relative murah. Jadi, sangat direkomendasikan untuk kalian yang ingin vacation low budget. Hehe…

TSTJ saat itu memiliki koleksi lebih dari 400 satwa, mulai dari hewan herbivore, karnivora, dan omnivore. Namun, akibat dari pandemic ini pihak manajemen TSTJ membatasi jumlah pengunjung dan ada aturan hanya usia di atas limabelas tahun yang diperbolehkan masuk.

Tidak terasa, kurang lebih dua jam kami berkeliling melihat satwa, lalu kami pun akhirnya pergi keluar dan menuju halte yang terletak di depan TSTJ. Tak lama BST koridor 3 datang, kami bergegas masuk dan memutuskan untuk pergi ke Kampung Batik Kauman.

20 menit kami tiba di centra pembuatan batik itu. Melewati gang kecil, kami berjalan di antara toko-toko batik. Di sana terlihat beberapa pengrajin yang sedang membatik. Kami berhenti sejenak untuk menghampiri salah satunya. Melihat prosesnya yang cukup unik, tidak heran kalau harga batik tulis memang lebih mahal disbandingkan dengan batik cap. Selain itu, membatik juga memerlukan krativitas dan ketelitian yang tinggi.

Puas melihat proses membatik, kami melanjutkan langkah menuju mushola terdekat untuk sholat dzuhur. Setelah sholat, kemudian kami berhenti di salah satu warung HIK karena perutku tiba-tiba terasa lapar. Selain tengkleng, timlo dan makanan khas Solo lainnya, Solo memiliki ciri khas yang sudah diketahui oleh banyak umat, yakni warung HIK atau wedangan ini. Cukup dengan Rp.10.000, aku sudah bisa menghabiskan dua bungkus nasi bandeng, satu gelas es teh, dan lima gorengan. Wow, tidak heran jika kota Solo dijuluki sebagai kota dengan biaya hidup yang murah.

Setelah dirasa kenyang, kami keluar dari gang menuju jalan utama Coyudan untuk menunggu bis arah ke Sriwedari, karena kami ingin mengunjungi Museum Keris Nusantara. Jalanan yang tidak begitu macet membuat kami lebih mudah mengakses tempat wisata menggunakan kendaraan umum. Selain murah, kami bisa duduk dengan nyaman di dalam bus berpendingin itu.

Tepat pukul satu siang kami tiba di Museum Keris. Museum ini memiliki empat lantai, di lantai satu, terdapat papan informasi penyebaran senjata di dunia. Lalu di lantai dua, terdapat sumber literasi mengenai hal-hal yang menyangkut tentang keris. Kemudian di lantai ketiga, di sana kami melihat diaroma proses pembuatan keris dimasa Candi Borobudur dan Candi Sukuh. Di lantai ini, kami juga melihat patung pria yang mengenakan pakaian adat Jawa beserta kerisnya. Terakhir, di lantai empat merupakan tempat penyimpanan artefak keris.

Usai mengunjungi Museum Keris, aku mengajak Karina untuk pergi ke Pasar Triwindu. Kami pergi ke sana menaiki BST dari halte MAN 2 Surakarta, kemudian turun di perempatan Ngarsopuro. Di pasar barang antik ini, Karina terlihat sangat terkesan. Kebetulan dia memang suka dengan segala sesuatu berbau vintage.

Hari sudah semakin sore, Kami memilih untuk check in di Istana Griya Hotel. Selain karena lokasinya yang dekat dengan Pasar Triwindu, hotel ini cukup ramah untuk kantong kami selaku mahasiswa semester tua. Malamnya, kami memutuskan pergi ke jalan utama untuk membeli nasi liwet sebagai santapan malam kami. Setelah makan malam, kami kembali ke hotel dan istirahat.

Jumat, 18 September 2020. Pagi itu kami check out pukul delapan, lalu memilih untuk sarapan terlebih dahulu sebelum memulai tour. Setelah sarapan di warung soto terdekat, kami menuju Pura Mangkunegaran. Di sana aku sedikit bernostalgia, karena terakhir aku berkunjung ke Pura Mangkunegaran sudah sekitar lima tahun setelah aku lulus sekolah. Dulu, aku datang ke Pura Mangkunegaran untuk praktik sebagai tour guide, sekarang aku datang sebagai wisatawan. Menyenangkan rasanya.

Pura Mangkunegaran tidak banyak berubah. Koleksinya masih sama seperti saat aku datang terakhir kali. Di dalamnya, terdapat koleksi benda-benda bersejarah milik Puro Mnagkunegaran yang dikumpulkan sejak tahun 1926.

Kurang lebih satu setengah jam berada di Mangkunegaran, kami memutuskan untuk mendatangi Museum Radya Pustaka. Karena saat itu rute BST untuk ke arah barat belum melewati Jalan Slamet Riyadi, kami memutuskan menaiki ojek online.

Tak jauh berbeda dengan museum di Mangkunegaran, museum Radya Pustaka ini juga menyimpan benda bersejarah milik kerajaan. Bedanya, museum ini dulunya hanya menyimpan surat, tetapi sekarang sudah ditambah koleksi yang lain, seperti segala jenis wayang, logam berharga, keramik, arca, dan lainnya. Sebagai museum tertua di Indonesia, bentuk bangunan museum ini tidak berubah sejak awal dibuka.

Selesai melihsat koleksi di museum Radya Pustaka, kami memutuskan untuk makan siang di Selat Viens. Menurut Karina, belum ke Solo namanya kalau tidak makan selat Solo. Di sana kami makan siang sekaligus sholat dzuhur, sembari memikirkan destinasi mana lagi yang akan kami kunjungi. Benar saja, setelah makan kami langsung mendapat ide untuk pergi ke Taman Balekambang. Di sana kami sekedar melepas penat dan bersembunyi di bawah pohon-pohon yang rindang hingga sore menjelang.

Untuk malam ini, kami berencana menginap di penginapan KoolKost dekat kampus Institut Seni Indonesia Solo, karena malam nanti kami akan menghadiri acara Pertunjukan Seni Tradisional Jawa Tengah di Taman Budaya Jawa Tengah Surakarta. Pergelaran yang menampilkan berbagai macam tarian dari Jawa Tengah itu mendapatkan banyak atensi dari masyarakat sekitar. Hal itu membuktikan bahwa julukan Solo sebagai Kota Budaya bukan hanya cakap angin saja, melinakan benar adanya.

Sebagai penutup, di hari terakhir aku mengajak Karina mengunjungi wisata alam yang berada di wilayah Kabupaten Karanganyar. Kami berangkat dari Solo ke Air Terjun Jumog pukul delapan pagi, Karena akses menuju kesana sangat sulit dijangkau menggunakan transportasi umum, akhirnya kami memilih untuk menyewa sepeda motor. Tepat pukul sembilan kami tiba di Air Terjun Jumog, jalanan yang senggang membuat kita tiba di sana lebih awal dari estimasi. Karina sangat menikmati udara dingin yang menyergap kulit dan tulangnya, sementara aku memilih untuk menepi dan membeli kopi.

Puas bermain air, kami naik ke atas menuju Candi Cetho. Udara di sini semakin dingin, karena Candi ini berada di kaki Gunung Lawu pada ketinggian 1496 mdpl. Saat memasuki pelataran Candi, kami melewati gapura besar yang di kedua sisinya terdapat arca penjaga. Candi ini juga masih digunakan untuk berziarah bagi umat Hindu.

Tak terasa sudah mendekati jam makan siang, kami pun turun ke bawah menuju restaurant Balebranti. Menyantap makanan dengan panorama kebun teh benar-benar menambah kenikmatan tersendiri. Udara yang segar serta pemandangan hijau di depan mata sangat membuat nyaman. Namun, tour kami di Karanganyar harus berhenti di sini, karena sore nanti Karina harus kembali ke Jogja.

Setelah makan siang dan sholat dzuhur, kami kembali ke Solo. Kami tiba di Solo pukul tiga sore, jadwal kereta Karina pukul lima sore. Masih ada waktu dua jam, Karina memintaku untuk mengantarnya ke Pasar Klewer, dia ingin membeli beberapa buah tangan untuk teman dan keluarganya Jogja. Pukul empat sore, aku mengantarnya ke Stasiun Purwosari. Kami berpisah di sana dan aku pun pulang ke rumah.

Itulah ceritaku bersama teman yang sudah lama tidak kutemui. Terasa singkat dan menyenangkan. Semoga kami bisa bertemu di lain waktu dengan keadaan pandemic sudah berlalu. Aamiin……..

Cerita Liburan