Cerita Liburan 3 Hari 2 Malam Di Kota Solo Dari Faza Monic Savira

 

Mungkin bagi sebagian orang awam yang senang berpetualang atau menjelajah, Kota Solo sebagai kota budaya hanya memiliki destinasi wisata seperti Keraton Surakarta Hadiningrat dan Keraton Mangkunegaran saja, tetapi tidak denganku. Aku merasa Kota Solo sebagai kota yang  sama istimewanya dengan Kota Yogyakarta, atau bahkan Kota Solo jauh istimewa?

Satu pagi di bulan September, aku tiba di Kota Bengawan ini dinihari pukul tiga pagi di Stasiun Solo Balapan. Untukku yang seorang milenial travelers, aku sudah tahu harus kemana tujuanku pagi ini. Yap, 5 menit dari Stasiun Solo Balapan aku sudah tiba di Gudeg Cakar Bu Kasno di daerah Margoyudan. Sensasi kuliner dini hari ini ternyata cukup ramai dikunjungi, bahkan pukul tiga pagi ini aku masih harus mengantri.

Gudeg Cakar Bu Kasno Margoyudan ini ternyata sudah berdiri sejak tahun 1970-an, dan hanya memang buka mulai dari pukul satu pagi hingga kurang lebih pukul tujuh pagi. Berbeda dengan gudeg di Kota Yogyakarta yang memiliki rasa manis yang dominan, Gudeg Cakar Bu Kasno Margoyudan ini memiliki sensasi rasa gudeg yang cukup gurih. Satu porsi Nasi Gudeg Cakar dibandrol dengan harga dua puluh ribu rupiah. Cukup menarik untuk menikmati sensasi makan dikala dini hari.

 

Setelah dari Gudeg Cakar Bu Kasno Margoyudan, aku melanjutkan perjalananku menuju Masjid Agung Surakarta untuk singgah sebentar menunaikan kewajiban sebagai seorang muslim. Bangunan dengan dominasi warna biru ini terletak di sebelah barat Alun-Alun Utara Kota Solo, tidak jauh dari kompleks Pasar Klewer yang juga merupakan pasar batik terbesar se-Asia Tenggara.

Waktu menunjukan pukul enam pagi, saatnya mencari sarapan! Meskipun sudah makan gudeg cakar tadi dini hari, nampaknya perut ini juga tidak bisa menolak sajian sarapan spesial yang hanya ada di Kota Solo, Nasi Liwet!

Meskipun banyak versi Nasi Liwet Solo yang ada di Indonesia, tetap saja Nasi Liwet di Solo memiliki rasa yang otentik dan khas. Tak lengkap rasanya jika tak menikmati Nasi Liwet Solo di Kota Solo. Gurihnya nasi yang dipadukan dengan sayur labu siam, kemudian diberi tambahan ayam suwir dan telur pindang dan dibubuhi oleh areh menambah kelezatan Nasi Liwet Solo ini.

 

Hiruk pikuk pedagang Pasar Klewer mulai terasa, aktivitas mulai terbangun. Satu persatu kios Pasar Klewer pun aku jelajahi. Salah satu yang aku senangi di Pasar Klewer ini selain tidak hanya batik yang diperjual-belikan, para pedagangnya pun ramah. Satu langkah aku berjalan sudah disapa dengan nada suara yang meriah

“Mari mbak cantik, cari apa, bisa mampir mampir duluu”.

Mau tak mau senyum pun tersungging, wajar lah perempuan mana yang tidak senang jika dipanggil cantik? Hahaha

Berkeliling di Pasar Klewer cukup membuat aku kalap dalam berbelanja, selain mendapat beberapa outfit batik, tas totebag batik, aku juga mendapat kain mandala yang ternyata murah banget!

Psstt… Kuncinya satu, jangann sungkan untuk menawar harganya sampai mendapat kesepakatan harga yang murah ya! Hahaha

 

Tak terasa jam tangan mulai menunjukan pukul 10.00, aku segera bergegas keluar dari Pasar Klewer dan segera mencari transportasi menuju daerah Sriwedari. Dan pas banget, ketika aku keluar dari Pasar Klewer, sebuah bus berwarna biru dengan gambar salah satu tokoh wayang Punakawan melintas didepanku. Batik Solo Trans namanya! Untuk menaiki Batik Solo Trans ini, cukup membayar karcis sejumlah empat ribu lima ratus rupiah untuk umum.

 

Oh iya, hari ini aku sudah ada janji dengan temanku untuk bertemu di sebuah tempat, Tumurun Private Museum namanya. Jika ada yang belum terlalu mengenal, Tumurun Private Museum ini merupakan sebuah museum pribadi yang berisikan koleksi pribadi milik keluarga Lukminto yang merupakan pemilik pabrik tekstil Sritex. Aku cukup beruntung untuk memiliki kesempatan untuk datang di Tumurun Private Museum ini, karena meskipun tidak diperjual-belikan tiket masuknya, Tumurun Private Museum ini  harus reservasi melalui website mereka.

Aku cukup terkesima ketika masuk  dan berkeliling di Tumurun Private Museum ini, karena selain megah dan mewah, banyak koleksi-koleksi karya seni yang keren, untuk kamu pecinta karya seni wajib banget nih dating ke Tumurun Private Museum!

Setelah cukup puas berkeliling, aku dan temanku berjalan sejauh 10 meter dari lokasi Tumurun Private Museum untuk mengisi perut karena sudah jam makan siang nih. Dan voilaa.. kami berhenti di sebuah tempat makan yang dari kejauhan sudah tahu menyajikan menu apa karena asap dan bau yang dihasilkannya, yap Sate Kambing Pak Manto.

Selain menjual sate kambing, Warung Makan Sate Kambing Pak Manto juga menyediakan beragam olahan kambing mulai dari tongseng, tengkleng, sampai gule kambing. Favoritku sih kalo ke Solo wajib banget buat cobain sate buntel dan tengkleng kambing hihihi.

 

Setelah kenyang mengisi perut, kemudian temanku mengantarku untuk menuju ke hotel tempatku menginap. Dan lagi-lagi aku menemukan sebuah hidden gems di tengah kota Solo, sebuah hotel dengan nuansa Jawa Klasik yang unik banget dan bener-bener merasakan vibes bahwa sedang di kota Solo.

Hotel ini bernama Roemahkoe Heritage Hotel. Sebuah hotel berlokasi di Laweyan, yang berdekatan dengan Kampung Batik Laweyan, salah satu kampung penghasil batik terbesar di Indonesia.

Roemahkoe Heritage Hotel ini bernuansa Jawa Klasik dengan nuansa ala-ala Keraton dan yang pasti instagramable banget. Baru masuk dan menikmati kamarnya saja, aku seperti merasa menjadi putri bangsawan Solo, hihihi. Dan ternyata terdapat fakta menarik, bahwa Roemahkoe Heritage Hotel ini milik Ibu Nina Akbar Tanjung, istri dari Bapak Akbar Tanjung loh!

Selain merasa menjadi putri bangsawan, di Roemahkoe Heritage Hotel ini banyak memberiku pelajaran, bahwa ternyata masih banyak wisatawan mancanegara yang turut bangga dengan budaya asli Indonesia khususnya budaya Jawa, karena yang menginap di Roemahkoe Heritage Hotel ini memang kebanyakan wisatawan mancanegara. Huhu keren banget nggak sih Indonesia ini, jadi makin bangga deh!

Aku memutuskan untuk beristirahat sejenak, karena nanti malam temanku mengajakku untuk menyaksikan pertunjukan menarik di Keraton Mangkunegaran. Hmm cukup menarik juga rupanya.

 

 

Pukul 19.00 temanku menjemputku untuk menuju ke Prangwedanan Pura Mangkunegaran. Malam ini sedang berlangsung pertunjukan International Mask Festival, sebuah pertunjukan seni topeng dengan menghadirkan seniman-seniman baik lokal maupun internasional.

Kami pun kemudian masuk ke dalam venue acara, kupikir acara ini berbayar, dan ternyata gratis! Wow sungguh mengejutkan, karena sekelas event Internasional yang diadakan di sekitar wilayah Keraton Mangkunegaran, dan tidak dipungut biaya masuk sama sekali, bahkan kami mendapat topeng dari panitianya!  Sungguh luar biasa memang Kota Solo ini, gimana nggak jatuh cinta?

Acara Internasional Mask Festival berlangsung selama dua hari, dan besok merupakan hari terakhir. Beragam seniman tampil untuk menyajikan karya seninya. Bahkan beberapa wisatawan mancanegara yang ku lihat di hotel pun sepertinya mereka turut datang juga ke acara ini. Seketika hatiku meleleh, begitu terkesan dan terkesimanya wisatawan mancanegara dengan kebudayaan kita, namun kita sendiri yang memilikinya belum secinta itu dengan kebudayaan Indonesia. Kalau bukan kita yang mencintai kebudayaannya, lantas siapa lagi? Jangan sampai baru menyesal jika sudah diklaim dan diaku oleh negara lain sebagai budayanya.

 

Usai menyaksikan pertunjukan Internasional Mask Festival, sebelum diantar menuju ke hotel, aku dan temanku menuju ke sebuah angkringan di sepanjang jalan Slamet Riyadi. Angkringan atau jika di Solo biasanya disebut dengan wedangan/ HIK cukup ramai dikunjungi. Tidak hanya para bapak-bapak, tetapi cukup banyak juga anak muda yang datang untuk menghabiskan waktu seraya bersendau gurau, bercerita, atau bahkan hanya menikmati makan malamnya.

Wedangan menyajikan beragam makanan dan minuman yang menggugah selera, terutama untuk aku yang suka makan, kalap deh kalau sudah di wedangan!

Mulai dari tumpukan bungkusan nasi bandeng, nasi oseng, nasi sambal teri, nasi rica-rica, sampai nasi goreng pun ada! Untuk pilihan lauknya pun juga lengkap, beragam sate atau disini menyebutnya dengan ‘sundukan’, gorengan, hingga makanan makanan ringan tersedia.

Untuk harganya juga cukup murah, mulai dari lima ratus rupiah hingga lima ribu rupiah. Cukup murah bukan? Memang kota Solo ini penuh dengan kulinernya!

Oh iya, ada yang belum aku ceritakan juga. Di wedangan selain menjual beragam makanan, ada dua menu minuman yang membuatku terkesima yaitu wedang teh kampul dan wedang jahe kencur jeruk (JKJ)

Sebenarnya wedang teh kampul ini hampir sama seperti teh manis lainnya, namun yang membedakan, didalam teh diberi potongan jeruk tanpa diperas, seperti lemon tea, namun bukan lemon tea.

Yang kedua, wedang jahe kencur jeruk (JKJ) ini yang paling unik menurutku. Yap perpaduan antara jahe, kencur dan jeruk menjadi sebuah minuman yang selain menyegarkan juga hangat di perut. Psst.. konok katanya wedang JKJ ini merupakan minuman rahasia dari para pesinden untuk tetap menjaga stamina dan kualitas suaranya. Unik banget kan!

Setelah kenyang menikmati santapan malam di wedangan, aku dan temanku berkeliling sebentar di Kota Solo. Menikmati semilir angin Kota Solo di malam hari, sunyi namun masih ada yang beraktivitas dan berlalu lalang. Tak lupa kami melintasi kawasan Gatot Subroto Singosaren. Jika siang, kawasan ini merupakan kawasan pertokoan, namun ketika malam telah tiba, kawasan ini berubah menjadi kawasan hiruk pikuk anak muda yang sedang mengabadikan dirinya di depan pintu-pintu pertokoan.

Yups, disepanjang kawasan Gatot Subroto Singosaren, tergambar mural-mural yang unik mulai dari bertemakan artis Nike Ardilla hingga Presiden Joko Widodo, mural bergambar Gesang sang maestro keroncong, hingga mural bergambar seorang pengantin perempuan yang memakai paes Solo, yang sempat digunakan sebagai latar belakang film Mantan Manten yang dibintangi oleh artis Atiqah Hasiholan pun ada.

Tidak hanya mural yang menjadi daya tarik kawasan Gatot Subroto Singosaren di malam hari, beragam coffeeshop juga berjejer dan menjadi tempat tongkrongan anak muda Solo.

Selamat pagi! Pagi ini aku memutuskan untuk sarapan di hotel dengan sajian menu khas Roemahkoe Heritage Hotel, Nasi Jemblung dan Lodoh Pindang. Konon katanya, dua menu ini merupakan menu favorit Raja-Raja Solo zaman dahulu lho!

Nasi Jemblung merupakan sajian menu yang terbuat dari lidah sapi lalu dimasak seperti semur dandisajikan dengan nasi putih. Di bagian tengah nasi putih ini dibentuk seperti cincin dengan lidah sapi semur di bagian tengahnya. Disajikan di atas daun pisang dan dilengkapi dengan kerupuk rambak, irisan timun, sambal terasi dan tomat sebagai lalapannya.

Untuk menu lodoh pindang sendiri merupakan sajian menu dengan kuah seperti sayur lodeh yang diberi temulawak yang di dalamnya terdapat satu butir telur pindang, irisan daging sapi, wortel, kol, kapri, labu siam, cabai rawit utuh dan di atasnya ditaburi dengan cincangan kacang kedelai.

Kedua menu tradisional ini cukup enak dan unik, namun sayang sekali sudah hampir punah karena tergerus oleh zaman, padahal sebenarnya ada sensasi tersendiri ketika menikmati dua menu ini. Kita seperti dibawa ke zaman Raja-Raja Keraton dahulu lho. Unik banget kan!

Usai sarapan, aku berjalan kaki sekitar sepuluh menit ke Kampung Batik Laweyan untuk berkunjung ke rumah batik milik teman ayahku, Pakde Hadi namanya. Dari hotel cukup dekat dengan alamat yang diberikan Pakde Hadi, tidak terlalu jauh.

Ternyata Pakde Hadi memiliki sebuah showroom rumah batik sekaligus membuka pelatihan membuat batik untuk para wisatawan. Aku tak mau menyia-nyiakan kesempatan langsung mengikuti arahan dari seorang pemandu mengenai bagaimana cara membuat batik tulis. Cukup menyenangkan namun aku tidak memungkiri bahwa ternyata membuat batik perlu ketelitian dan ekstra sabar!

Setelah melalui proses yang cukup panjang, akhirnya batik buatanku jadi juga! Senang sekali rasanya turut membuat karya Batik sendiri. Aku berjanji akan memajang karyaku ini di kamar.

Usai membuat batik, aku sudah dijemput temanku untuk menuju ke Pasar Antik Triwindu untuk menemaniku mencari hiasan guci antik pesanan mamaku.

Setelah melalui perjalanan yang cukup padat, akhirnya kami sampai ke Pasar Antik Triwindu. Pasar Antik Triwindu ini rupanya lumayan dekat dengan lokasi Keraton Mangkunegaran, tempat aku semalam menyaksikan pertunjukan International Mask Festival.

Pasar Antik Triwindu memiliki bangunan yang cukup luas dengan aksen depan bergaya Jawa, dan diatasnya terdapat hiasan wayang kulit. Dan lagi-lagi seperti menemukan hidden gems, aku menemukan surganya tempat pecinta barang-barang antik. Mulai dari tahun paling tua yaitu bahkan sebelum masehi, hingga tahun 90-an.  Benar-benar surganya pecinta barang-barang antik!

Setelah berhasil mendapat pesanan mamaku, aku dan temanku bergegas menuju ke sebuah restoran dengan sajian menu utama, es krim. Namanya Es Krim Tentrem. Konon katanya, Es Krim Tentrem ini sudah buka sejak tahun 1953. Cukup legendaris sekali ya!

Es Krim Tentrem menyajikan beragam menu es krim dengan beragam rasa dan bentuk serta warna yang menggoda untuk dicicipi semua. Selain rasanya yang nikmat, beragam menu es krim yang tersaji juga memiliki tampilan yang cantik dan menarik untuk difoto. Rasanya sayang sekali rasanya untuk dinikmati.

Puasa menikmati es krim, kami pun segera mencari tempat untuk makan siang. Tak lengkap rasanya jika di Solo tidak menikmati Selat. Menu makanan satu ini memang khas dan identik sekali dengan kota Solo.

Selain segar, selat juga menurutku hanya dapat ditemui di Solo. Bahkan jika kota lain menjual menu dengan nama Selat yang sama, namun tak se-otentik jika dinikmati di kota Solo rasanya.

Kami singgah di sebuah warung makan yang terkenal namun berada disebuah gang kecil sempit, Selat Mbak Lies namanya.

Warung makan ini unik sekali, karena menyajikan suasana warung yang dipenuhi dengan perabotan antik dan unik seperti guci, piring, keramik, hiasan dinding sampai barang-barang antik lainnya yang cocok banget untuk diunggah di Instagram. Selain suasana warung yang unik, para pelayannya pun tak kalah unik. Mereka menggunakan pakaian bernuansa Jawa dan Belanda yang berganti-ganti setiap harinya.

Setelah kenyang menikmati Selat, aku dan temanku kemudian menuju ke sebuah tempat bersejarah namun sangat aestetik dan Instagramable. Lagi-lagi Instagramable ya! Hahahaha memang aku sebagai seorang milenial travelers harus banget cari tempat wisata yang selain memiliki filosofi sejarah juga harus Instagramable dong!

Yap kami tiba di sebuah tempat yang tidak jauh dari patung Slamet Riyadi, namanya Gedung Djoeang ’45 dengan bangunan bergaya Eropa yang memiliki dominasi warna putih, minimalis. Konon kabarnya Gedung Djoeang ’45 ini merupakan bekas kantin para tentara Belanda dan berdiri sudah sejak tahun 1880. Cukup lama juga ya!

Gedung Djoeang ’45 ini merupakan tempat wisata baru di Kota Solo, karena sebelumnya merupakan sebuah gedung yang sudah kosong sejak lama namun di revitalisasi oleh Pemerintah Kota Surakarta.

Untuk harga tiketnya sendiri gratis, namun para pengunjung yang akan memasuki Gedung Djoeang ’45 ini masuk melalui pintu bangunan yang jadi satu dengan sebuah toko yang menjual es krim gelato.

 

Puas berkeliling Gedung Djoeang ’45 tak terasa hari sudah petang. Malam ini aku dan temanku akan kembali berwisata kuliner kembali. Yippie! Jika kemarin kami sudah ke wedangan atau HIK, maka malam ini aku akan mencoba kuliner khas Solo bernama sate kere.

Eits, meskipun bernama sate, tetapi sate kere ini berbeda dengan sate ayam maupun sate kambing! Sate kere berbahan dasar dari jerohan sapi dan tempe gembus. Pada zaman dahulu, sate kere merupakan makanan olahan kreativitas bangsa Indonesia ketika melihat para kolonial Belanda makan sate dengan daging kemudian para pribumi pun tak kehabisan akal mengolah jerohan sapi yang terbuang menjadi kuliner yang tak kalah nikmat bernama Sate Kere.

Psst.. kabarnya sate kere juga merupakan salah satu kuliner favorit Presiden Joko Widodo ketika sedang pulang ke Solo lho!

 

Kenyang menikmati sate kere, kami pun sempat berkeliling Kota Solo di malam hari. Bukan menggunakan motor pribadi, kami mencoba sensasi naik becak di malam hari. Seru sekali rasanya!

Aku sempat berfikir, jika jaman semakin modern seperti ini, transportasi umum tradisional seperti becak semakin tergerus dan lama-lama akan punah. Lantas bagaimana dengan kehidupan para tukang becak? Lantas bagaimana mereka akan menghidupi anak, istri dan keluarganya?

Ah semoga kedepannya ada kebijakan khusus dari Pemerintah Kota Surakarta untuk menggalakan becak agar tidak punah dan tergerus zaman, sehingga para tukang becak pun tetap berjaya ditengah modernisasi kota. Semoga…

Hari ini hari terakhir ku di Kota Solo. Kereta ku akan berangkat dari Stasiun Balapan pukul dua siang. Sebelum menikmati waktu-waktu terakhir di Kota Solo sebelum kembali ke kota asal, aku menyempatkan untuk menikmati sarapan di sebuah warung soto di daerah Gading. Warung soto ini unik sekali karena disajikan tidak menggunakan mangkok, namun menggunakan piring, tak heran maka warung soto ini disebut sopir (soto piring)

Selain unik karena tempat penyajiannya, soto piring juga unik karena pelayannya saling bersahut sahutan untuk mengatakan pesanan pembeli. Seperti,

“Soto piring satu, teh panas satuu” dengan nada yang khas. Unik sekali!

 

Kenyang makan di soto piring, aku menyempatkan untuk melewati Alun-Alun Kidul Keraton Surakarta untuk sekedar melihat kerbau yang disebut kerbau bule bernama Kiai Slamet. Disebut sebagai kerbau bule karena kerbau-kerbau peliharaan Keraton Surakarta ini albino, atau memiliki kelainan pigmen warna pada kulit sehingga menyebabkan kulitnya berwarna putih seperti para bule. Hihi lucu sekali ya!

Oh iya, para kerbau bule ini dilepaskan untuk diarak berkeliling kota Solo pada saat-saat tertentu seperti Malam 1 Muharram atau orang Jawa mengatakan Malam 1 Sura. Pada saat malam 1 Sura tersebut banyak orang yang masih memiliki anggapan dan mitos mengenai kekeramatan kerbau bule sehingga mereka turut mengikuti kerbau berjalan, berebut untuk menyentuh tubuh kerbau bule, bahkan saking keramatnya, ada yang mengais kotoran yang keluar dari tubuh kerbau bule tersebut untuk dibawa pulang dan dipercayai sebagai pembawa berkah.

Sebelum menuju ke Stasiun Balapan, aku sempat mampir sebentar ke Pasar Gede untuk menyicipi kesegaran Es Dawet Telasih dan Es Gempol Pleret yang katanya nikmat banget. Hmm, kuliner di dalam pasar? Kira-kira bagaimana ya sensasinya?

Dan ternyata sesampainya aku disana, wow jauh dari perkiraanku! Super ramai sekali sampai-sampai harus mengambil antrian. Tapi memang senikmat itu sih rasanya!

Es Dawet Telasih merupakan campuran kuah santan dengan isian cendol, gula aren, nangka yang telah diiris, bubur sumsum, dan ketan hitam.

Sedangkan Es Gempol Pleret berisikan gempol dan pleret yang terbuat dari tepung beras. Gempol memiliki rasa yang gurih dengan bentuk bulat-bulat putih. Sementara pleret terasa agak manis karena campuran gula jawa dan bentuknya panjang pipih. Kedua adonan dari tepung beras ini berpadu dengan gurihnya santan. Cita rasanya akan semakin sempurna dengan tambahan gula jawa cair.

Berjalan-jalan di Pasar Gede tak lengkap rasanya jika tidak membeli beberapa oleh-oleh sebagai buah tangan. Beragam makanan kecil tersaji seperti intip manis, ampyang kacang, sampai aneka kripik olahan.

Namun ada satu hal yang membuatku tertarik untuk menjelajahi Pasar Gede, lagi-lagi aku seperti menemukan hidden gems ketika menjelajah Pasar Gede lantai dua.

Aneka macam para penjual makanan mulai dari western food, Chinese food,  hingga kedai kopi tersaji diatas. Seperti apakah sensasinya menikmati makanan ditengah pasar? Bahkan kata seorang penjual, jika malam tiba banyak anak-anak muda Solo yang kini mulai menjadikan Pasar Gede lantai dua sebagai tempat tongkrongan baru. Wow cukup menarik untuk dikunjungi dilain kesempatan!

Aku kemudian melangkahkan kaki menuju halte Batik Solo Trans untuk segera menuju ke Stasiun Balapan. Berat sekali rasanya untuk meninggalkan kota Solo. Tiga hari di Kota Solo rasanya belum puas aku untuk  menjelajahinya. Masih banyak hal yang perlu aku pelajari lagi, masih banyak tempat yang perlu aku kunjungi lagi. Semoga kelak semesta mempertemukan aku kembali dengan kota Bengawan ini. Kota yang tak hanya menyimpan budaya, namun cerita hingga kuliner yang tak terhingga nikmatnya. Kota yang mengajarkanku kesederhanaan, keramah-tamahan warga lokalnya, hingga kenangan yang mungkin terbangun selama tiga hari disini. Sampai jumpa dilain waktu, Kota Solo!

 

Ini tempat terbaik yang pernah ku singgahi

Hawanya mengingakanku pada kebahagiaan

Yang aku kasihi berada di kota ini

Harumnya slalu memanggilku untuk pulang

Hidup begitu ringan terasa saat kudisini

Lepas penatku dalam pelukan Kota Solo

Kamulah saksi bisu keringat dan air mataku

Tak pernah tidur hingga ku tak rasa

Sepi sederhanamu buatku jatuh hati

S’lalu ingin pulang ke Solo

Jalan hidup membawaku terus melaju

Mengaliri sempai jauh bagai Bengawan Solo

Tapi kau ajarkan aku jadi bijaksana

Bersahaja dan menikmati anugrah Maha Esa

Hidup begitu ringan terasa saat kudisini

Lepas penatku dalam pelukan Kota Solo

Kamulah saksi bisu keringat dan air mataku

Tak pernah tidur hingga ku tak rasa sedih

Sederhanamu buatku jatuh hati

Kamulah saksi bisu keringat dan air mataku

Tak pernah tidur hingga ku tak rasa

Sepi sederhanamu buatku jatuh hati

Slalu ingin pulang ke Solo

(Elizabeth Sudira – Rindu Solo)

Cerita Liburan