Hanindawan Sutikno
Hanindawan Sutikno
Hanindawan Sutikno atau lebih dikenal dengan nama Hanindawan (lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 4 Desember 1959; umur 57 tahun) adalah tokoh sastra dan teater berkebangsaan Indonesia. Dia adalah pemimpin Teater Gidag Gidig Solo sejak sejak 1982. Hanindawan merupakan salah satu pelopor berkembangnya kelompok-kelompok teater di Surakarta melalui karya-karyanya. Saat ini, dia tercatat sebagai karyawan di Taman Budaya Jawa Tengah untuk divisi teater. Kemampuannya di bidang teater, menjadikannya dia ditunjuk sebagai pemoles gaya pidato presiden Republik Indonesia, Jokowi
Sejak usia mudia, Hanindawan sudah mencintai dunia kesenian. Rumahnya yang tak jauh dari RRI Surakarta, dimana disitu sering diselenggarakan pertunjukan kesenian melecut minatnya untuk selalu menyaksikan. Saat itu, usia Hanin masih SD dan tinggal bersama neneknya, dan memilih tidak ikut ayahnya pindah ke Jakarta.
RRI Surakarta merupakan pusat kegiatan kesenian di Solo. Hampir setiap malam ada pementasan wayang kulit, wayang orang, ketoprak, pembacaan puisi, keroncong, dan berbagai kesenian rakyat lainnya. Dalam lingkungan seperti itulah Hanin kecil mengawali perkenalannya dengan kesenian. Dia menonton pertunjukan di panggung RRI dengan cara mbludhus (masuk sembunyi-sembunyi tanpa membeli tiket) yanya untuk memenuhi hasrat menontonnya.
Saat masuk SMAN 4 Surakarta, 1977, atas ajakan seorang teman, dia bergabung dengan kelompok teater remaja yang semua anggotanya siswa SMA setempat. Kelompok itu, Teater Gidag Gidig, didirikan pada 21 Desember 1976, dipimpin oleh Bambang Sugiarto, kakak kelas Hanin, yang juga sutradara. Lulus SMA, 1980, Hanindawan masuk Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra Universitas Sebelas Maret Solo. Padahal semasa SMA dia dari jurusan IPA. Sastra Indonesia dipilih karena paling dekat dengan hobinya, berteater.
Di kampus, aktivitas teater Hanin kian menjadi. Namun, dia malah merasa jenuh. Kejenuhan itu timbul, karena dorongan berteater dalam diri yang sangat kuat tetapi tak terwadahi dalam ekspresi kelompok yang stagnan. Maka, pada 1982, Hanin memutuskan berhenti dari Gidag Gidig. Tapi beberapa bulan kemudian, Bambang Sugiarto justru menghubunginya dan meminta aktif kembali, bahkan ditawari untuk memimpin dan melatih anggota-anggota baru.
Gidag Gidig dan Hanindawan selanjutnya bagai dua sisi mata uang. Anggotanya, kini tak lagi anak-anak SMA setempat tetapi bersama kelompok ini pula Hanin menyebarkan ’virus’ teater di sekolah-sekolah di Solo sekitarnya, dan tahun 1990 adalah saat di mana mencapai puncak kreativitas kelompok-kelompok teater di Solo.
Sejak 1990, Hanindawan tercatat sebagai karyawan di Taman Budaya Jawa Tengah Surakarta. Dia dipercaya mengurus komite teater yang bertugas melayani dan mengakomodasi kelompok teater yang hendak berpentas di TBJT.
Sesungguhnya penampilan pria ini terlalu rapi untuk ukuran orang panggung. Kaos atau kemeja yang dikenakan selalu bersih dan diseterika rapi. Sama rapinya dengan rambut yang dicukur nyaris plontos. Ia juga amat santun dan kalem. Hanindawan menjadi istimewa karena hingga kini dialah penggerak bagi kehidupan teater di Solo dan kota-kota sekitarnya. Ia biasa berlama-lama di desa terpencil hanya untuk memberikan workshop penulisan naskah dan latihan teater untuk anak-anak dan remaja di sana.