Rusini
Rusini
Berkecimpung di dunia tari sejak 6 tahun. Saat itu, dia sudah diajak orang tuanya ke Gedung Wayang Orang (GWO) Sriwedari. Ayahnya, Rusman Harjo Wibakso (alm) dan ibunya Darsi Pudjorini, dua diantara pemain wayang orang senior di kotanya. Alhasil, setiap pentas ia selalu diajak orang tuanya. Di GWO, ia melihat orang tuanya pentas dari tempat duduk di samping panggung. Ketika itulah keinginannya untuk menari mulai tumbuh. Berkat bimbingan orang tuanya, ia pun menekuni seni tari.
Semakin dewasa, ia semakin dalam terjun kedunia tari. Meskipun awalnya sempat mengambil kuliah di bidang keuangan karena ingin menjadi pegawai bank, namun justru akhirnya dan lebih memilih berkonsentrasi dan berlatih tari di Pusat Kebudayaan Jawa Tengah (sekarang TBS) di Jebres, Solo. Untuk lebih mendalami seni tari ia juga berkuliah di ASKI (Akademi Seni dan Karawitan Indonesia), yang kini menjadi ISI Surakarta.
Di TBS, Hampir setiap hari ia mengasah keahlian bidang tari bersama teman-teman seangkatannya di ASKI, sejak 1979-2004, tercatat puluhan karya tari sudah dihasilkan diantaranya tari ’Ronggolawe Gugur’, ’Haryo Penangsang Gugur’ dan ’Rudrah’. Ia juga menciptakan tariannya sendiri yang diciptakannya dari tahun 2000-2008, tarian tersebut antara lain ’Bedaya Bangun Tulak’, ’Bedhaya Timasan’ dan ’Tanding Parang Kusuma’.
Berkat keahliannya di dunia tari, ia pun sering melanglang ke berbagai negara, seperti ke Perancis, Inggris, Belanda, Austria, dan puluhan negara lain. Karena terlalu seringnya dia bepergian ke luar negeri, khususnya Belanda, ia pun menjadi kenal dengan manajer seni di negeri kincir angin itu. Kesempatan itu pun tidak disia-siakannya. Lewat kolaborasi tari Indonesia dan musk Barat, ia pun dikontrak oleh manajer seni itu untuk pentas di berbagai negara. Ia juga acap kali tampil bersama Eko Supriyanto pada acara bergengsi di mancanegara.
Atas peran aktifnya di dunia tari, pengajar seni tari Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta dan pelatih tari di Pura Mangkunegaran ini, pada tahun 2008, mendapat penghargaan ’Satya Bhakti Upa Krida’, sebuah penghargaan di bidang pelestarian seni tari tradisional, untuk kategori tokoh masyarakat yang diberikan dalam rangka peringatan Hari Jadi Ke-58 Provinsi Jawa Tengah.
Kini isteri dari Hendro Purnomosidi dan nenek dari tiga orang cucu tersebut sudah menjelma menjadi penari yang sangat disegani publik dari dalam maupun luar negeri. Namun ada satu keinginannya yang belum terwujud yakni membuat sebuah sanggar tari di kampung halamannya.
Sumber : berbagai sumber